LO KHENG HONG BERMAIN TIMAH


LO KHENG HONG BERMAIN TIMAH

Minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan kasus flu burung untuk menambah kekayaannya. Minggu ini kita akan belajar bagaimana LKH menentukan saat untuk menjual sahamnya yang sudah untung. Kita ambil contoh kasus PT. Timah, Tbk (TINS).

TINS adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pertambangan atau eksplorasi timah. TINS adalah penghasil timah dunia terbesar pada tahun 2008. Timah digunakan untuk solder, kemasan produk, baju anti api, sampai dengan pembuatan stabiliser pvc, pestisida dan pengawet kayu.

LKH membeli saham TINS pada tahun 2002 pada harga sekitar Rp290. Ia membeli 24 juta saham TINS, dan menjadi salah satu pemegang saham TINS terbesar di luar pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas. LKH menjual saham TINS pada tahun 2004 seharga Rp2.900, meraup cuan (keuntungan) Rp63 milyar, atau cuan 900 persen dalam waktu 2 tahun. 

LKH tertarik membeli saham TINS karena pada tahun 2002 nilai buku ekuitasnya Rp1,5 trilyun, sedangkan nilai pasar ekuitasnya (kapitalisasi pasar) pada harga saham Rp290 hanya Rp150 milyar. Namun laba bersihnya pada tahun 2002 hanya Rp11 milyar, turun dari Rp37 milyar pada tahun 2011. Salah satu penyebabnya adalah harga timah yang rendah. Ketika harga timah mulai membaik, kinerja keuangan dan harga saham TINS juga terkerek naik.

Sebenarnya LKH punya peluang untuk memperoleh keuntungan lebih fantastis dari TINS jika ia tidak menjual saham TINS di Rp2.900. Setelah ia jual, harga saham TINS masih naik terus seiring dengan pertumbuhan harga timah dunia yang luar biasa. 

Pada grafik bisa dilihat harga saham TINS mengalami lonjakan sejak akhir 2006 hingga pertengahan 2008, dimana harga saham TINS menyentuh Rp38.000. Bisa dibayangkan, seandainya LKH melepas saham TINS nya pada harga puncak ini, ia bakal meraup keuntungan 12.000 persen dalam waktu 5,5 tahun! 

Tentunya ini menjadi pelajaran bagi investor pemula, bahwa memprediksi titik puncak harga sebuah saham tidaklah mudah. Investor berpengalaman dan hebat seperti LKH saja bisa “membuat kesalahan” dengan melepaskan kesempatan emas utnuk meraup cuan gila-gilaan. Namun, saat LKH “membuat kesalahan”, ia masih untung 900 persen dalam waktu 2 tahun. Sedangkan kebanyakan investor lain jika melakukan kesalahan investasi biasanya harus melakukan cut loss alias merugi.
Kalau selama ini kita sudah tahu bagaimana konsep LKH dalam memilih/membeli saham yang salah harga, yakni menggunakan indikator Price Earnings Ratio (PER) kurang dari 5 kali, bagaimana dengan konsep menjual saham?

LKH menjelaskan ketika nilai intrinsik saham yang ia pegang sudah mendekati harga pasarnya, ia mulai mempertimbangkan untuk melepas saham tersebut. Ketika nilai saham sudah mendekati harganya, cuan di masa depan dari saham tersebut sudah tidak tinggi.

Lantas bagaimana caranya LKH menghitung nilai intrinsik sebuah saham? Secara teoritis ada beberapa metoda. Yang banyak digunakan oleh para analis saham adalah metoda discounted cash flow (DCF). Analis mencoba memprediksi arus kas yang bisa dihasilkan oleh sebuah perusahaan bagi investor di masa yang akan datang. Arus kas tersebut kemudian di-nilai sekarang-kan (present value). Nilai intrinsic saham adalah jumlah dari seluruh nilai sekarang arus kas tersebut. Metoda ini canggih namun kadang akurasinya kurang tinggi karena banyak asumsi yang harus dibuat. Misalnya, pertumbuhan penjualan dan laba bersih, struktur modal, belanja modal, suku bunga.  

LKH menggunakan PER untuk memperkirakan apakah harga sebuah saham sudah mendekati nilai intrinsiknya. “Ketika PER saham yang saya pegang sudah mendekati 17 kali, saya mempertimbangkan untuk melepas saham tersebut,” kata LKH. Ia menggunakan angka 17 kali sebagai acuan karena rata-rata PER saham di Bursa Efek Indonesia yang dianggap wajar adalah 17 kali. Kadang LKH menggunakan indikator price to book value ratio (PBV atau harga saham dibagi book value ekuitas saham) sebesar 1 kali. Pendekatan lain yang LKH gunakan adalah replacement cost, dimana ia bertanya kepada direksi perusahaan, berapa nilai wajar perusahaan mereka.
Ada satu hal lagi yang bisa membuat LKH melepas sahamnya yang sudah dalam posisi untung (in the money). “Kalau ada saham perusahaan bagus jatuh harganya, dan kebetulan saya tidak punya uang tunai, saya bisa menjual saham saya utnuk membeli saham tersebut,” LKH menjelaskan. Inilah yang disebut asset allocation (alokasi aset), salah satu prinsip investasi Warren Buffett, mahaguru LKH.

LO KHENG HONG DAN ANAK AYAM


Minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan krisis finansial sebagai batu loncatan untuk kaya. Ternyata krisis memiliki dua sisi: ancaman dan kesempatan. Bagi LKH krisis finansial 1998 membuka peluang untuk membeli saham PT. United Tractor, Tbk (UNTR) dengan harga super murah. 

Namun salah jika kita berpikir bahwa saham super murah hanya bisa ditemukan saat krisis finansial. Setidaknya LKH membuktikan bahwa setelah mendapat cuan (profit) luar biasa dari saham UNTR, ia bisa menemukan saham sejenis pada kondisi bukan krisis finansial. Salah satunya adalah saham PT Multibreeder Adirama Indonesia, Tbk (MBAI).

MBAI adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang usaha pembibitan ayam, dengan hasil produk utamanya DOC (Day Old Chicks) alias anak ayam yang baru menetas. Mayoritas saham MBAI (sekitar 73 persen) dimiliki oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk (JPFA), perusahaan yang berbisnis pakan ternak hingga daging ayam. 

LKH tertarik membeli saham MBAI karena merasa harganya sudah sangat murah. Indikatornya adalah Price Earnings Ratio-nya kurang dari 1 kali. Mengapa saham MBAI bisa salah harga? Menurut LKH saat itu terjadi wabah flu burung, yang menyerang ayam. Masyarakat menghindari mengonsumsi ayam. Akibatnya penjualan MBAI turun dan investor menghindari saham ini karena khawatir prospeknya. Akibat dorongan jual yang massif, harga MBAI terkapar. Mengapa LKH berani masuk pada saat mayoritas investor lari tunggang langgang? LKH memberikan mantra-nya sembari tersenyum, “Invest in bad times, sell in good times, and you will get rich.” 

LKH membeli saham MBAI pada tahun 2005 seharga Rp 250 per saham. Tidak tanggung-tanggung, ia mengoleksi hingga 6,2 juta saham dengan total nilai investasi Rp1,55 milyar. Alhasil, LKH memiliki 8,28 persen saham MBAI dan menjadi pemegang saham terbesar ketiga. Ia menjualnya 6 tahun kemudian pada harga Rp 31.500, menikmati keuntungan 12.500 persen! Atau rata-rata hampir 125 persen setahun dalam jangka waktu 6 tahun. Total keuntungan dari memegang saham MBAI selama 6 tahun adalah Rp194 milyar.  

Bagaimana Lo Kheng Hong menemukan MBAI? Prosesnya mirip ketika LKH menemukan saham UNTR. Diawali dengan indikator PER yang sangat rendah, ia mulai menganalisis fundamental saham tersebut. Ia menemukan bahwa pada tahun 2005, MBAI memperoleh penjualan Rp655 milyar, laba usaha Rp78,3 milyar dan laba bersih Rp58,5 milyar. Total aset MBAI pada akhir 2005 adalah 627 milyar, sedangkan total utangnya adalah 615 milyar. Maka modal ekuitas MBAI saat itu tinggal Rp12 milyar. Pada harga Rp250 per saham, nilai pasar ekuitas bisa dihitung dengan mengalikan Rp250 dengan jumlah saham beredar (75 juta), hasilnya adalah Rp18,75 milyar. Artinya, harga pasar saham ini hanya sedikit di atas nilai bukunya (nilai historis). Mengapa LKH menemukan kesempatan emas ini dan investor lain tidak? “kemungkinan lebih dari 90% investor saham tidak tahu apa yang mereka beli. Mereka seperti membeli kucing dalam karung,” ujar LKH.

LKH membayangkan, sebuah perusahaan yang masih bisa menghasilkan laba bersih Rp58,5 milyar bagi pemegang saham hanya dihargai Rp 18,75 milyar di pasar! Maka LKH mulai mengoleksi saham MBAI. Ia membeli saham ini secara bertahap supaya tidak menimbulkan gejolak harga di pasar saham.

Perhitungan LKH ternyata tepat. Setelah kehebohan flu burung berlalu, kinerja MBAI makin moncer (Lihat Tabel). Penjualannya, misalnya, berlipat ganda selama periode 2006 – 2010 alias tumbuh 19% per tahun. Sedangkan laba bersih per saham juga berlipat ganda, dari Rp1.414 di tahun 2006 menjadi Rp3.416 di tahun 2010 alias tumbuh 25% per tahun. Tak heran jika harga saham MBAI meroket.
Lantas, mengapa LKH menjual saham MBAI di tahun 2011? “Harganya sudah naik terlalu tinggi sehingga melampaui nilai intrinsiknya,” LKH menjelaskan. “Selain itu ada faktor MBAI dimerger dengan Japfa Comfeed”. LKH kurang menyukai aksi merger ini karena saham MBAi akan ditukar dengan saham Japfa Comfeed, dan menurutnya saham Japfa Comfeed sudah kemahalan.

Jika Krisis  finansial 1998 telah LKH kaya melalui saham PT. United Tractor, Tbk (UNTR), maka kasus flu burung telah membuat LKH menjadi kaya raya. Menurut LKH, jika dibandingkan dengan berinvestasi pada saham UNTR, investasi pada saham MBAI mengandung risiko (ketidakpastian) yang lebih besar. Mengapa? UNTR adalah perusahaan yang jauh lebih besar dan memiliki reputasi tata kelola yang lebih bagus daripada MBAI. Namun risiko besar tidak bisa menghambat “pendekar saham” LKH untuk menaklukkan saham MBAI. 

RINGKASAN LAPORAN LABA RUGI MBAI 2006 - 2010

2006
2007
2008
2009
2010
CAGR
Penjualan Bersih
786
962
1355
1483
1568
19%
Laba Usaha
89
93
147
247
339
40%
Laba Bersih
106
89
32
197
256
25%
Laba Bersih/Saham
1414
1195
424
2623
3416
25%

LO KHENG HONG DAN INDIKA